berhenti mengecam kegelapan .. nyalakan lilin .

Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekedar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apapun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu :) #indonesiamengajar

Senin, 03 September 2018

Menunggu Diganti Menemukan

Sebuah Catatan Harian: Menunggu Diganti Menemukan



Saya menemukan buku-buku lama yang pernah saya baca, tentang 'jodoh yang tak kunjung tiba, dan perempuan mesti menunggu.' Saya berpikir ulang tentang kata 'menunggu' dan mendapatkan sesuatu yang mengusik saya, bahwa kata 'menunggu' di situ kerap diidentikan sebagai subordinasi perempuan. Bahwa perempuan tidak punya hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pasangannya. Sementara laki-laki punya hak istimewa untuk memilih dan memutuskan pilihannya atas perempuan.

Ide lain dari kata 'menunggu' yang juga mengganggu saya adalah perempuan diam, berdandan, menjaga sikap dengan baik, menjaga keperawanan, hingga saat yang tepat ia akan bertemu dengan laki-laki yang (dirasa tepat) untuk menjadi pasangannya. Selain itu kata 'menunggu' juga kerap menggambarkan bahwa perempuan tidak boleh agresif, dalam pengertian, agresifitas hanya boleh dimiliki oleh laki-laki sebagai sebuah tindakan untuk memburu perempuan, sebab lagi-lagi perempuan dianggap sebagai makhluk yang pasif, tidak berdaya, dan tidak berhak untuk memilih.

Saya kembali mundur pada nilai-nilai yang ada dan berkembang di sekitar saya. Tentang bagaimana masyarakat sangat memuji perempuan dengan keperawanan. Bahwa tugas untuk untuk menjaga keperawanan hingga 'waktunya tiba' adalah sebuah tugas mulia yang mesti diemban oleh seorang anak perempuan. Sementara kita tidak mengajarkan hal yang sama kepada anak laki-laki kita. Terdapat sebuah perbedaan besar antara cara membesarkan anak perempuan dan anak laki-laki. Bahwa anak perempuan tidak boleh terlalu agresif, mesti banyak menjaga sikap, jangan terlalu ekspresif untuk menyatakan perasaan, jangan terlalu ambisius, dan harus menjaga keperawanan. Sementara standar yang sama tidak dipelakukan kepada anak laki-laki.

Lalu, untuk mengganti kata 'menunggu' tadi, saya menyukai kata 'menemukan' (to discover, to found, to have, to detect, to invent). Baik perempuan dan laki-laki punya peran yang sama, untuk 'menemukan' siapa dirinya, 'menemukan' seksualitasnya, 'menemukan' bagaimana sikapnya terhadap seksualitasnya, 'menemukan' ambisinya, 'menemukan' perasaan-perasaanya, 'menemukan' dan membuat pilihan secara sadar siapa yang menjadi pasangannya.

-perempuansore-

Kamis, 20 Oktober 2016

PERSOALAN ..

Mencintai adalah persoalan membangun: membawa selalu ke dalam hal-hal yang baik. Jika yang satu sedang sedih, yang lain akan menjadi penghibur. Jika yang satu sedang berada di bawah, yang lain akan berfungsi menggendong.

Mencintai adalah persoalan beriringan: tidak ada yang berjalan duluan atau tertinggal di belakang. Tetapi bersama-sama. Bersisian. Seperti ucapan terima kasih. Jika terima saja tanpa kasih. Kita akan mudah gemuk mencinti diri kita sendiri. Dan jika kasih saja tanpa terima, karena kita akan terhisap habis. 

Mencintai adalah persoalan mengampuni: setiap kesalahan, masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Mengampuni diri sendiri. Sama halnya dengan mengampuni orang lain. Mencintai diri sendiri. Sama halnya dengan mencintai orang lain. Memperlakukan diri sendiri sama seperti memperlakukan orang lain. Tidak ada kesempurnaan yang paling sempurna selain mampu untuk mencintai sekaligus mengampuni orang lain.

Mencintai adalah persoalan saling mengingatkan: saling mengingatkan dimana dan kapan saja. Tidak boleh lupa. Atau sengaja melupakan. Saling mengingatkan melalui hal-hal kecil: pesan pendek, telepon panjang, status di media sosial, sentuhan, ciuman, tatapan mata. Segala sesuatu dapat menjadi media untuk saling mengingatkan. Bahkan di dalam doa dan saling mengingat.

Mencintai adalah persoalan berbagi: berbagi hal-hal jasmani dan rohani. Berbagi selalu menyenangkan. Karena sifatnya spiritual. Berbagi dapat dimulai dari hal yang paling sederhana seperti berbagi kopi, berbagi ciuman, berbagi sentuhan, berbagi cerita, berbagi tempat tidur, berbagi pelukan, berbagi kesedihan, berbagi tawa, berbagi kesenangan-kesenangan kecil, berbagi rahasia yang paling gelap. Setiap orang yang mencintai dan memahami bahwa itu adalah persoalan berbagi. Sesungguhnya juga belajar untuk menjadi manusia.

Mencintai adalah persoalan keutuhan, penuh, lengkap: saya tidak yakin, manusia dapat mencintai orang lain sungguh-sungguh dengan kekosongan. Ia harus berisi terlebih dahulu. Ia harus penuh dengan cinta. Karena cinta yang sama yang akan ia alirkan kepada orang lain. Bahkan mungkin lebih. Ini masalah kesiapan. Jika merasa belum siap, tidak ada masalah dengan mempersiapkan dirimu untuk penuh terlebih dahulu. Jika tidak, kita akan dengan mudah menghisap kepenuhan orang lain. Dan lama kelamaan, mereka menjadi kering.


Mencintai adalah persoalan mengusahakan: bekerja keras untuk cinta. Setiap hari dari pagi hingga pagi lagi. Sebuah PEKERJAAN BESAR  yang tidak boleh berhenti sampai mati.


Senin, 25 Januari 2016

belajar mengenal : PATAH

Patah. Adalah rasa yang perlu dikenali. Tetap harus dipeluk dan dijadikan sebagai sebuah pengalaman perjalanan. Seperti salah satu dari bagian tubuhmu, peluk ia erat. Pagi ini saya bangun dengan melihat dua buah mawar putih yang tumbuh segar di halaman. Tetapi ada satu bahkan dua—mawar lainnya yang layu, terkulai begitu saja—patah.

Selama saya hidup, patah bukan hal yang baru. Banyak orang suka mengidentifikasi kata ini dengan “patah hati” atau “kehilangan” atau “ada sesuatu yang terlepas dari dalam dirimu, padahal sebelumnya begitu melekat.”

Ketika bercerita tentang patah, saya ingat ketika mengalami patah (hati) yang begitu tidak dapat dijelaskan ketika kak Bayu pergi begitu saja. Kejadiannya, sudah tiga tahun lebih, tetapi rasa patah itu masih ada bahkan sedikit berubah menjadi dendam. Sampai di sini saya menyadari satu hal: ada rasa patah yang begitu lekat, susah untuk dilepas. Bahkan waktu, mustahil untuk menyembuhkannya.  

Saya lalu merasa bahwa, rasa patah atau kehilangan semacam itu, akan terjadi di dalam diri kita, apabila kita memang nantinya akan kehilangan orang yang begitu kita cintai. Maka, berhati-hatilah dengan cinta!

Saya rasa, peringatan ini bukan bermaksud untuk menghindarkan kamu dari cinta dengan segala perasaan perasaanya, tetapi bagaimana kita bisa mengenal cinta dengan sebuah konsekuensi besar bahwa suatu hari nanti, kita bisa saja kehilangan orang yang kita cintai, yang membuat kita patah—begitu patah.

Tetapi apakah ketika ada yang patah, lantas kita kehilangan? Ataukah sebenarnya sesuatu yang kita cintai, begitu melekat, tidak akan pernah hilang dari dalam diri kita. Saya sendiri tidak tahu pasti. Maka, berhati-hatilah dengan cinta dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Karena suatu hari nanti dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, hal-hal tersebut akan selesai, disadari ataupun tidak, selesai.

Sampai di sini, ketika memang itu harus selesai, itu bukan salah kamu, salah saya, salah kita yang menjalaninya, melainkan karena waktu yang mengijinkan. Tetapi perlu diingat, cinta, patah—patah, bukan hal yang berbahaya. Mereka sama seperti bagian dari tubuhmu, melekat, ingin dipeluk erat, kenali saja.


Dan jika kamu telah mengenal rasa patah dengan baik, sangat baik. Sebelum rasa patah itu datang, cintailah seseorang sungguh sungguh, penuh penuh, sekarang. Bahkan sebelum saya berharap, Tuhan gantikan cinta yang lebih baik, dan sedang belajar untuk memeluk erat dengan sungguh-sungguh.