adakah
yang lebih mencintaimu selain ina, pak ? tak jumpa dengan sosokmu
seminggu ini membuatku sedikit khawatir. Mungkin rindunya lebih daripada
rindu pada kekasih. Yang rasanya tidak bisa dijabarkan satu persatu.
Lidahku kelu untuk sekedar mengatakan, “ina kangen bapak, cepat pulang
ya”. Iya aku malu mengatakannya, saat tak pernah malu mengucap rindu
pada kekasih sendiri.
Kurunut
lagi kebiasaan-kebiasaan kami yang lalu. Konversasi berjam-jam yang
sarat dengan petuah. Bahwa aku harus selalu berpikir panjang jika akan
melakukan segala sesuatu. Bahwa aku tak boleh menangis, karena semakin
sedikit air mata yang tumpah maka akan semakin cepat mimpiku terwujud.
Bahwa kau bilang tak akan pernah tinggalkanku karena aku kesayanganmu.
Jika
orang bertanya siapa guru terbaikku yang pertama kali mengenalkan
abjad, tentu kau orangnya. Saat keluarga kita tak punya cukup uang untuk
biaya sekolah Taman Kanak-Kanak, kau tampil sebagai guru pertama kali.
Selepas magrib aku akan diajarkan menulis. Pensil harus selalu diserut
dan buku tulis bersampul coklat itu harus digaris tepi kanan kirinya.
Aku diajarkan rapi sedari dulu. Dulu kau memang tak pernah ajarkan aku
prosa, sajak, puisi indah atau rima yang menari di setiap tulisan karena
sekolahmu sendiri tak pernah tinggi. Diajarkannya juga aku menggambar,
sayangnya gambarku selalu buruk. Acak-acakan dan tak jelas. Saat contoh
gambarmu selalu bagus dan aku hampir putus asa jika gambarku tak
sedikitpun mirip denganmu. Aku lebih suka menulis, tenggelam dengan
pensil bergaris merah dan hitamku di lantai. Berderet-deret huruf
kucontoh dari tulisanmu yang paling atas.
Pak,
tak apa jika kau selalu marah karena aku lekas mengantuk akibat terlalu
banyak main di siang hari. Tak apa kau cuma mampu membelikan buku
cerita rakyat ketimbang membelikanku buku bersampul warna-warni dan
mahal. Tapi kau yang membuatku selalu disayang guru Bahasa Indonesiaku ketika SD, SMP dan SMA,
menyukai barisan kalimat indah dan yang paling penting bisa menulis
surat cinta untukmu Pak ..
Aku
cuma gadis kecilmu .. Masih memiliki sifat yang sama seperti dulu ketika
masih berlarian memakai kaus kutang dan celana dalam ke mana-mana. Yang
selalu dilarang bermain hujan dan cuma menatap iri pada anak lain
seumuranku. Harus berteduh sendirian saat anak-anak lain pulang
beramai-ramai sambil hujan-hujanan dan membuatku harus rela pulang
sendirian setelah reda. Aku yang tak berani pulang ke rumah jika nilaiku
dulu bukan “jipel”, kata lain dari 100, dan aku pernah memalsukan tanda
tanganmu di nilai hasil ulangan yang harus dikembalikan pada Bu Guru.
Pak,
aku selalu membelamu. Sebesar apapun kesalahan itu. Karena kuyakin
Tuhan punya jawaban sendiri atas apa yang terjadi. Kau ingat kan Pak,
saat berumur 10 tahun aku pernah menggegerkan satu kampung karena menyiram
wajah orang dengan bubur kacang hijau panas hanya karena dia bicara
sembarangan tentangmu dan menghina pekerjaanmu. Seberani itu aku lakukan karena tak pernah rela
orang lain bicara kasar tentangmu. Dan catatan kecilmu waktu itu bermula
dengan kata-kata bahwa aku sangat badung.
Satu
hal yang selalu kuingat bahwa tak ada cinta darimu yang pernah terbagi,
karena cinta untukku cuma satu kan Pak. Terlalu banyak hal manis
tentangmu. Coba kuceritakan satu hal, kau pasti ingat berdua kita pernah
bersirobok dengan tak ramahnya Ibukota. Saat motor besarmu tak mampu
menembus banjir, berputar-putar di arah jalan pulang dan kelelahan di
warung Indomie. Menikmati teh panas, gorengan dan menertawakan hujan
yang rajin berkunjung belakangan ini. Saat sepatu dan pantalonmu basah
kita akhirnya pulang dengan saling bercerita di jalan. Teringat pula
saat aku harus wawancara untuk masuk ke perguruan tinggi di Jogjakarta, kau melaju dikecepatan 100
km/jam karena tak ingin gadismu kehilangan kesempatan. Ah bapak, sejuta
bahkan semilyar kata tak cukup gambarkan semuanya. Betapa aku tak pernah
bisa menahan bulir-bulir hangat jatuh di pipi untuk sekedar mengingat
apa yang sudah pernah kau lakukan untukku .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar